Wajahku pucat ketika engkau mengatakan ingin bertentangga dengan
nerakanya, mencicipi betapa gersangnya tungku yang Maha, bukan semerbak taman
sewangi kenanga, menjadikan seluruh persendianku merenggang, ngilu.. rasanya.
Hai kamu, tidak kah bosan!? Menjadikan hari beban timbangan kirimu,
atau paling tidak malu, karna makhluq dikananmu nganggur.
Dilain pihak, seseorang menghentak-hentak, bertepuk-tepuk,
berteriak-teriak agar mendapat perhatianmu, mintanya hanya satu, perhatian
(terhadap diri) mu.
Ia hanya bisa terseguk-seguk menahan tangis yang sudah sering
teranjur terlinang, duduk dipojok sana, sambil melipat lutut dan menyandarkan
tangan yang tertelungkup malunya wajah. Ya, bukan hanya wajah dzohirnya, namun
wajah dhomirnya.
Congkaknya dagumu, besarnya kepalamu, lebarnya kupingmu, tebalnya
bibirmu, jelalatannya matamu, liarnya nafsumu dan luas benar tolak pinggangmu.
Sudikah kamu menanam tapi darah telapakmu yang kau tuai!!. Sudikah kamu, letih
dan kapal kakimu, tapi kebaikan yang kau cerai!?.
Benturan teguran demi teguran, baru terasa kalau terbentur
sungguhan. Sukuriiiiiin...
Marilah kemari hei, hei, hei, hei kawan
Akulah disini, hei, hei, hei, hei kasih
Mari bergembira, bersama-sama
Hilangkan hati, duka lara
Dia riang bernostalgia tentang alam fana, saat engkau mandi timah
bersamanya.
Wahai engkau yang Maha, andai berkenan terima aku kelak dengan raut
senyummu, walau keruhnya hatiku, Cuma itu harapku. Ridhoi Aku.
Depok,
29.11.11. tue 02 AM